WELCOME

WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC

Selasa, 16 Oktober 2012

MODEL EVALUASI KURIKULUM

EVALUASI KURIKULUM
A.    Pengertian Evaluasi Kurikulum
Kurikulum yang memiliki nilai penting sebagaimana diungkap dalam bab pendahuluan menjadikan keberadaan evaluasi kurikulum menjadi hal yang fardhu adanya. Adapun pengertian evaluasi adalah pengambilan keputusan berdasarkan hasil pengukuran dan standar criteria. Evaluasi juga diartikan sebagai kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu. Sedangkan menurut Marrison evaluasi adalah perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat criteria yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan.
Evaluasi kurikulum dalam tingkatan informal berbentuk perkiraan, dugaan atau pendapat tentang perubahan-peruabahan yang telah dicapai oleh program sekolah. Evaluasi kurikulum merupakan suatu tema yang luas, meliputi banyak kegiatan, meliputi sejumlah prosedur, bahkan dapat merupakan suatu lapangan studi yang berdiri sendiri. Evaluasi kurikulum juga merupakan fenomena memiliki banyak segi. Inilah beberapa definisi evaluasi kurikulum yang perlu untuk kita ketahui.

B.    Model-Model Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memperbaiki subsantsi kurikulum, prosedur implementasi kurikulum, metode intruksional, serta pengaruhnya pada belajar dan perilaku siswa. Macam-macam model evaluasi yang dipergunakan bertumpu pada aspek-aspek tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model evaluasi yang bersifat komparatif berkaitan erat dengan tingkah laku individu, evaluasi yang menekakan tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang menekankan pada bahan ajar atau isi kurikulum. Adapun model (pendekatan) antropologis dalam evaluasi ditujukan untuk mengevaluasi tingkah laku dalam suatu lembaga social. Dengan demikian sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara evaluasi dengan kurikulum.
Model evaluasi kurikulum sebagaimana perkembangan evaluasi kurikulum di Amerika, Inggris dan Australia adalah dibedakan menjadi 3 yaitu: pertama, model yang masuk dalam kategori kuantitatif. Kedua, model kualitatif dan ketiga model-model ekonomi. Adapun penjabarannya masing-masing adalah sebagai berikut:
Adapun ciri yang menonjol dari evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme. Sehingga model-model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya dari model-model kuantitatif adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan criteria evaluasi.
Berikutnya model-model kuantitatif ini sama-sama memiliki focus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum sebagai hasil belajar. Dimensi ini (hasil belajar) adalah merupakan criteria pokok bagi model-model kuantitatif. Adapun diantara model-model evaluasi kurikulum yang terkategori sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai berikut.

1.      Model Tyler
Model Tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangnya. Tyler menuangkan karyanya ini dalam sebuah buku kecil tentang kurikulum. Berkat buku inilah kemudian nama dia menjadi terkenal dan dia disegani. Model evaluasi Tyler di bangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peseta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut. Berdasar pada dua prinsip ini maka Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar.
Adapun prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:
1)      Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi. Tujuan kurikulum yang dimaksud disini adalah model tujuan behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah dikembangkan sejak kurikulum 1975. Adapun untuk kurikulum KTSP saat ini maka harus mengembangkan tujuan behavioral ini jika berkenaan dengan model kurikulum berbasis kompetensi.
2)      Situasi dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan. Dari langkah ini diharapkan evaluator memberikan perhatian dengan seksama supaya proses pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil belajar yang dirancang kurikulum.
3)      Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk megukur tingkah laku peserta didik. Alat evaluasi ini dapat berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara dan sebagainya. Adapun instrument evaluasi ini harus teruji validitas dan reliabilitasnya.
Inilah tiga prosedur dalam evaluasi model Tyler. Adapun kelemahan dari model Tyler ini adalah tidak sejalan dengan pendidikan karena focus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses. Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting dari kurikulum.
Adapun kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi focus evaluasi.
 
2.      Model Hammond
      Hammond (1973) menyarankan lima langkah untuk menentukan apakah kurikulum telah mencapai tujuannya. Kelima langkah tersebut adalah:
a.       Mengisolasi program atau bagian dari kurikulum yang akan dievaluasi,
b.      Mendefinisikan variabel deskriptif (semua variabel yang berkaitan dengan sekolah dan instruksi),
c.       Menyatakan tujuan dalam istilah perilaku,
d.      Menilai perilaku yang digambarkan dalam tujuan, dan
e.       Menganalisis hasil untuk sampai pada kesimpulan tentang tujuan.
      Hammond, yang lebih peduli dari Tyler dengan menentukan pengaruh faktor institusional dan instruksional pada pencapaian tujuan, dan

3.      Model Provus (Discrepancy Evaluation Model)
Provus (1973) memandang penilaian sebagai proses pengelolaan informasi berkelanjutan yang dirancang memberi pelayanan sebagai the watchdog of program management’dan the handmaiden of administration in the management of program development trough sound decision making.
Walaupun nampak adanya pendekatan manajemen dalam pemikiran Provus, tetapi tradisi Tyler lebih dominan. Hal ini dapat dilihat dari definisi evaluasi yang ia kembangkan. Menurut Provus, evaluasi adalah proses: 1) menyetujui berdasarkan standar (istilah lain yang digunakan secara bergantian dengan istilah tujuan), 2) menentukan apakah ada kesenjangan antara kinerja aspek-aspek program dengan standar kinerja yang ditetapkan; 3) menggunakan informasi tentang kesenjangan-kesenjangan yang ditemukan sebagai bahan untuk meningkatkan mengelola, atau mengakhiri program atau salah satu aspek dari program tersebut.
Pendekatan yang diperkenalkan Provus ini dinamakan Discrepancy Evaluation Model. Pendekatan ini memperkenalkan pelaksanaan evaluasi dengan langkah-langkah yang perlu dilakukan, meliputi:
1)      Definisi
Dalam tahap definisi, focus kegiatan dilakukan untuk merumuskan tujuan, proses atau aktifitas, serta pengalokasian sumberdaya dan partisipan untuk melakukan aktifitas dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Provus, program pendidikan merupakan system dinamis yang meliputi inputs (antecedent), proses, dan outputs (juga outcomes). Standar atau harapan-harapan yang ingin dicapai ditentukan untk masing-masing komponen tersebut. Standar ini merupakan tujuan program yang kemudian menjadi criteria dalam kegiatan penilaian yang dilakukan


2)      Instalasi
Selama tahap instalasi, rancangan program digunakan sebagai standar untuk mempertimbangkan langkah-langkah operasional program. Seorang evaluator perlu mengembangkan seperangkat tes kongruensi untuk mengidentifikasi tiap kesenjangan antara instalasi program atau aktifitas yang diharapkan dan yang actual. Hal ini perlu untuk meyakinkan bahwa program telah diinstal sesuai dengan rancangan yang ditetapkan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa banyak rancangan program yang sama dioperasionalkan oelh guru-guru dengan aktifitas yang berbeda-beda.
3)      Proses
Pada tahap proses, evaluasi difokuskan pada upaya bagaimana memperoleh data tentang kemajuan para peserta program, untuk menentukan apakah perilakunya berubah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Jika ternyata tidak, maka perlu dilakukan perubahan terhadap aktifitas-aktiaitas yang diarahkan untuk mencapai tujuan perubahan perlaku tersebut.

4)      Produk
Selama tahap produk, penilaian dilakukan untuk menentukan apakah tujuan akhir program tercapai atau tidak. Provus membedakan antara dampak terminal (immediate outcomes) dan dampak jangka panjang (long term-outsomes). Dengan pemikiran ini ia mendorong evaluator untuk tidak hanya mengevaluasi hasil berupa kinerja program, tetapi lebih dari itu perlu mengadakan studi lanjut sebagai bagian dari evaluasi.
5)      Analisis biaya-manfaat
Tahap lainnnya yang ditawarkan Provus adalah analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis), dimana hasil-hasil yang diperoleh dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Analisis ini menjadi sangat urgen dalam keadaan sumber daya (khususnya biaya) pembangunan pendidikan yang sangat terbatas (limited resources).

Apapun kesenjangan yang ditemukan melalui evaluasi, Provus menganjurkan agar pemecahan masalah dilakukan secara kooperatif antara evaluator dengan staf pengelola program. Proses kerjasama yang dilakukan antara lain membicarakan tentang: 1) mengapa ada kesenjangan, 2) upaya perbaikan apa yang mungkin dilakukan, 3) upaya mana yang paling baik dilakukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Dalam tahap ini evaluator menuliskan semua penemuan kesenjangan untuk disajikan kepada para pengambil keputusan, agar mereka (ia) dapat memutuskan kelanjutan dari program tersebut. Kemungkinannya adalah a. Menghentikan program b. Mengganti atau merevisi c. Meneruskan d. Memodifikasi tujuannya.
Kunci dari evaluasi discrepancy adalah dalam hal membandingkan penampilan dengan tujuan yang telah ditetapkan.

4.      Model Stake
Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya ini pada evaluasi formal. Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan. Model countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matrik pertama dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks Pertimbangan.

1)      Matrik Deskripsi
Kategori pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan (intent) pengembang kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan RPP yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah observasi, yang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan observasi mengenai antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu satuan pendidikan atau unit kajian yang terdiri atas beberapa satuan pendidikan.
2)      Matrik Pertimbangan
Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan focus antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah criteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan. Berikutnya adalah evaluator hendaknya melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori pertama dan matrik deskriptif.

Adapun dua hal lain yang harus diperhatikan dalam menggunakan model countenance adalah contingency dan congruence. Kedua konsep ini adalah konsep yang memperlihatkan keterkaitan dan keterhubungan 12 kotak tersebut. Contingency terdiri atas kontigency logis dan contingency empiric. Contingency logis adalah hasil pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan logis antara kotak antecedence dengan traksaksi dan hasil. Kemudian evaluator juga harus memberikan pertimbangan empiric berdasarkan data lapangan.
Evaluator juga harus memberikan pertimbangan congr uence atau perbedaan yang terjadi antara apa yang direncanakan dengan apa yang terjadi dilapangan. Adapun kelebihan dari model ini adalah adanya analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba dikaji kesesuainnya. Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang direncanakan dengan yang terjadi sesuai apa tidak? Hasil belajar peserta didik sesuai tidak dengan harapan.





5.      Model Parlett dan Hamilton
Tujuan dari model ini adalah untuk menjelaskan tentang pemahaman audiens tentang suatu kurikulum atau program. Mereka mengklaim bahwa illuminative evaluasi itu untuk kurang membatasi tentang evaluasi tradisional. Ia fokus pada deskripsi dan interpretasi dari pada pengukuran dan prediksi. Tujuannya adalah:
1)      Untuk menguji pengaruh ditempatkanya suatu kurikulum, pendapat inni meliputi tentang manfaat dan tidaknya, dan bagaimana kinerja siswa lebih dipengaruhi
2)      Untuk melihat dan mendiskusikan keistimewaan dari sebuah kurikulum secara signifikan, dan proses untuk mengimplementasikannya
3)      Mengidentifikasi seluruh bagian dari kurikulum yang diperlukan
                                   
Semua teknik yang ada pada illuminative evaluasi adalah memilih evaluasi yang sesuai. Banyak teknik yang berbeda yang dapat digunakan dan evaluator menerima sumua sistem yang ada dari pada memanipulasinya.

6.       Model Kemmis
Model kemmis ini didasarkan pada apa yang dilihat pada kurikulum yang tidak bisa untuk diukur cara dan tujuan yang tepat, tapi memerlukan evaluasi yang luas yang mencakup interaksi yang banyak dari masing-masiang variabel.
Tugas evaluator bagi kemmis adalah “katakan jika menyukainya” atau “mengatakan” program atau kurikulum pada audiens. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan cara membawakan sebuah kurikulum untuk mengkomunikasikan keistimewaan kurikulum kepada audiens yaitu: sifatnya, masalah-masalah yang ada, dan orang-orang yang terlibat dalam pengimplementasinya. Seperti cara mengkomunikasikan sesuatu yang kompleks dan bentuk pengalaman yang tercakup didalam kurikulum.

7.      Model Walberg
Model Walberg ini untuk penelitian tentang instruksi (1970, 1971), Anggapan utama Walberg adalah bahwa model penelitian pada instruksi harus mencakup tiga kelas utama dari variabel dan interaksi mereka: instruksi, bakat siswa dan lingkungan belajar. Dia menyajikan model matematis dinyatakan beberapa menggambarkan hubungan ini. Menyatakan model umum bahwa belajar (Li) adalah fungsi (b) dari bakat (As), lingkungan belajar (Ej), dan instruksi (Ik), atau:

Lh = b1(Ai).b2(Ej).b3(Ik)



Tinjauan Walberg tentang studi penelitian mendorongnya untuk menyimpulkan instruksi yang membuat perbedaan yang relatif kecil dalam belajar bila dibandingkan dengan pengaruh kuat dari lingkungan belajar dan bakat siswa. Pandangan demikian menunjukkan bahwa lingkungan belajar harus digunakan sebagai kriteria efektivitas kurikulum. Tugas tersirat dari evaluator adalah untuk menentukan apakah kurikulum perubahan lingkungan.

Artikel Walberg 1974 lebih jauh menekankan proses dan konteks pembelajaran. Dia berpendapat bahwa pembelajaran harus diperiksa ketika sedang berlangsung, bahwa proses dan konteks pembelajaran harus dianalisis, dan bahwa standar evaluator harus 'menekankan' hasil prestasi-test dalam evaluasi pendidikan.
Model Walberg untuk penelitian pada instruksi menganggap evaluasi kurikulum sebagai penekanan lingkungan belajar dan bakat siswa serta tata cara pengajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar