EVALUASI KURIKULUM
A.
Pengertian
Evaluasi Kurikulum
Kurikulum yang memiliki nilai penting sebagaimana
diungkap dalam bab pendahuluan menjadikan keberadaan evaluasi kurikulum menjadi
hal yang fardhu adanya. Adapun pengertian evaluasi adalah pengambilan
keputusan berdasarkan hasil pengukuran dan standar criteria. Evaluasi juga
diartikan sebagai kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu. Sedangkan
menurut Marrison evaluasi adalah perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat
criteria yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan.
Evaluasi kurikulum dalam tingkatan
informal berbentuk perkiraan, dugaan atau pendapat tentang perubahan-peruabahan
yang telah dicapai oleh program sekolah. Evaluasi kurikulum merupakan suatu
tema yang luas, meliputi banyak kegiatan, meliputi sejumlah prosedur, bahkan dapat
merupakan suatu lapangan studi yang berdiri sendiri. Evaluasi kurikulum juga
merupakan fenomena memiliki banyak segi. Inilah beberapa definisi evaluasi
kurikulum yang perlu untuk kita ketahui.
B.
Model-Model
Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memperbaiki
subsantsi kurikulum, prosedur implementasi kurikulum, metode intruksional,
serta pengaruhnya pada belajar dan perilaku siswa. Macam-macam model
evaluasi yang dipergunakan bertumpu pada aspek-aspek tertentu yang diutamakan
dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model evaluasi yang bersifat komparatif
berkaitan erat dengan tingkah laku individu, evaluasi yang menekakan tujuan
berkaitan erat dengan kurikulum yang menekankan pada bahan ajar atau isi
kurikulum. Adapun model (pendekatan) antropologis dalam evaluasi ditujukan
untuk mengevaluasi tingkah laku dalam suatu lembaga social. Dengan demikian
sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara evaluasi dengan
kurikulum.
Model evaluasi kurikulum
sebagaimana perkembangan evaluasi kurikulum di Amerika, Inggris dan Australia
adalah dibedakan menjadi 3 yaitu: pertama, model yang masuk dalam kategori
kuantitatif. Kedua, model kualitatif dan ketiga model-model
ekonomi. Adapun penjabarannya masing-masing adalah sebagai berikut:
Adapun ciri yang menonjol dari
evaluasi kuantitatif adalah penggunaan prosedur kuantitatif untuk mengumpulkan
data sebagai konsekuensi penerapan pemikiran paradigma positivisme. Sehingga
model-model evaluasi kuantitatif yang ada menekankan peran penting metodologi
kuantitatif dan penggunaan tes. Ciri berikutnya dari model-model kuantitatif
adalah tidak digunakannya pendekatan proses dalam mengembangkan criteria
evaluasi.
Berikutnya model-model kuantitatif ini sama-sama
memiliki focus evaluasi yaitu pada dimensi kurikulum sebagai hasil belajar.
Dimensi ini (hasil belajar) adalah merupakan criteria pokok bagi model-model
kuantitatif. Adapun diantara model-model evaluasi kurikulum yang terkategori
sebagai model evaluasi kuantitatif adalah sebagai berikut.
1. Model Tyler
Model Tyler dinamakan Black Box karena
tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangnya. Tyler menuangkan
karyanya ini dalam sebuah buku kecil tentang kurikulum. Berkat buku inilah
kemudian nama dia menjadi terkenal dan dia disegani. Model evaluasi Tyler di
bangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku
peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peseta didik
sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah
melaksanakan kurikulum tersebut. Berdasar pada dua prinsip ini maka Tyler ingin
mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan
dimensi hasil belajar.
Adapun
prosedur pelaksanaan dari model evaluasi Tyler adalah sebagai berikut:
1)
Menentukan tujuan kurikulum yang akan
dievaluasi. Tujuan kurikulum yang dimaksud disini adalah model tujuan
behavioral. Dan model ini di Indonesia sudah dikembangkan sejak kurikulum 1975.
Adapun untuk kurikulum KTSP saat ini maka harus mengembangkan tujuan behavioral
ini jika berkenaan dengan model kurikulum berbasis kompetensi.
2)
Situasi dimana peserta didik mendapatkan
kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan.
Dari langkah ini diharapkan evaluator memberikan perhatian dengan seksama
supaya proses pembelajaran yang terjadi mengungkapkan hasil belajar yang
dirancang kurikulum.
3)
Menentukan alat evaluasi yang akan
digunakan untuk megukur tingkah laku peserta didik. Alat evaluasi ini dapat
berbentuk tes, observasi, kuisioner, panduan wawancara dan sebagainya. Adapun
instrument evaluasi ini harus teruji validitas dan reliabilitasnya.
Inilah tiga prosedur dalam evaluasi
model Tyler. Adapun kelemahan dari model Tyler ini adalah tidak sejalan dengan
pendidikan karena focus pada hasil belajar dan mengabaikan dimensi proses.
Padahal hasil belajar adalah produk dari proses belajar. Sehingga evaluasi yang
mengabaikan proses berarti mengabaikan komponen penting dari kurikulum.
Adapun
kelebihan dari model Tyler ini adalah kesederhanaanya. Evaluator dapat
memfokuskan kajian evaluasinya hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi
hasil belajar. Sedang dimensi dokumen dan proses tidak menjadi focus evaluasi.
2. Model Hammond
Hammond
(1973) menyarankan lima langkah untuk menentukan apakah kurikulum telah
mencapai tujuannya. Kelima
langkah tersebut adalah:
a. Mengisolasi
program atau bagian dari kurikulum yang akan dievaluasi,
b.
Mendefinisikan
variabel deskriptif (semua variabel yang berkaitan dengan sekolah dan instruksi),
c.
Menyatakan
tujuan dalam istilah perilaku,
d.
Menilai
perilaku yang digambarkan dalam tujuan,
dan
e.
Menganalisis
hasil untuk sampai pada kesimpulan tentang tujuan.
Hammond, yang lebih peduli
dari Tyler dengan menentukan
pengaruh faktor institusional dan
instruksional pada pencapaian tujuan,
dan
3.
Model
Provus (Discrepancy Evaluation Model)
Provus (1973)
memandang penilaian sebagai proses pengelolaan informasi berkelanjutan yang
dirancang memberi pelayanan sebagai the
watchdog of program management’dan the handmaiden of administration in the
management of program development trough sound decision making.
Walaupun nampak adanya pendekatan manajemen dalam
pemikiran Provus, tetapi tradisi Tyler lebih dominan. Hal ini dapat dilihat
dari definisi evaluasi yang ia kembangkan. Menurut Provus, evaluasi adalah proses:
1) menyetujui berdasarkan standar (istilah lain yang digunakan secara
bergantian dengan istilah tujuan), 2) menentukan apakah ada kesenjangan antara
kinerja aspek-aspek program dengan standar kinerja yang ditetapkan; 3)
menggunakan informasi tentang kesenjangan-kesenjangan yang ditemukan sebagai
bahan untuk meningkatkan mengelola, atau mengakhiri program atau salah satu
aspek dari program tersebut.
Pendekatan yang diperkenalkan Provus ini dinamakan Discrepancy Evaluation Model. Pendekatan
ini memperkenalkan pelaksanaan evaluasi dengan langkah-langkah yang perlu
dilakukan, meliputi:
1) Definisi
Dalam
tahap definisi, focus kegiatan dilakukan untuk merumuskan tujuan, proses atau
aktifitas, serta pengalokasian sumberdaya dan partisipan untuk melakukan
aktifitas dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Provus,
program pendidikan merupakan system dinamis yang meliputi inputs (antecedent), proses, dan outputs (juga outcomes). Standar atau harapan-harapan
yang ingin dicapai ditentukan untk masing-masing komponen tersebut. Standar ini
merupakan tujuan program yang kemudian menjadi criteria dalam kegiatan
penilaian yang dilakukan
2)
Instalasi
Selama tahap instalasi, rancangan program digunakan
sebagai standar untuk mempertimbangkan langkah-langkah operasional program.
Seorang evaluator perlu mengembangkan seperangkat tes kongruensi untuk
mengidentifikasi tiap kesenjangan antara instalasi program atau aktifitas yang
diharapkan dan yang actual. Hal ini perlu untuk meyakinkan bahwa program telah
diinstal sesuai dengan rancangan yang ditetapkan. Pengalaman selama ini
menunjukkan bahwa banyak rancangan program yang sama dioperasionalkan oelh
guru-guru dengan aktifitas yang berbeda-beda.
3)
Proses
Pada tahap proses, evaluasi difokuskan pada upaya
bagaimana memperoleh data tentang kemajuan para peserta program, untuk
menentukan apakah perilakunya berubah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak.
Jika ternyata tidak, maka perlu dilakukan perubahan terhadap
aktifitas-aktiaitas yang diarahkan untuk mencapai tujuan perubahan perlaku
tersebut.
4)
Produk
Selama tahap produk, penilaian dilakukan untuk
menentukan apakah tujuan akhir program tercapai atau tidak. Provus membedakan
antara dampak terminal (immediate outcomes) dan dampak jangka panjang (long term-outsomes). Dengan pemikiran
ini ia mendorong evaluator untuk tidak hanya mengevaluasi hasil berupa kinerja
program, tetapi lebih dari itu perlu mengadakan studi lanjut sebagai bagian
dari evaluasi.
5)
Analisis biaya-manfaat
Tahap lainnnya yang ditawarkan Provus adalah analisis
biaya-manfaat (cost-benefit analysis),
dimana hasil-hasil yang diperoleh dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.
Analisis ini menjadi sangat urgen dalam keadaan sumber daya (khususnya biaya)
pembangunan pendidikan yang sangat terbatas (limited resources).
Apapun kesenjangan yang ditemukan melalui evaluasi,
Provus menganjurkan agar pemecahan masalah dilakukan secara kooperatif antara
evaluator dengan staf pengelola program. Proses kerjasama yang dilakukan antara
lain membicarakan tentang: 1) mengapa ada kesenjangan, 2) upaya perbaikan apa
yang mungkin dilakukan, 3) upaya mana yang paling baik dilakukan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.
Dalam tahap ini evaluator menuliskan semua penemuan
kesenjangan untuk disajikan kepada para pengambil keputusan, agar mereka (ia)
dapat memutuskan kelanjutan dari program tersebut. Kemungkinannya adalah a.
Menghentikan program b. Mengganti atau merevisi c. Meneruskan d. Memodifikasi
tujuannya.
Kunci dari evaluasi discrepancy
adalah dalam hal membandingkan penampilan dengan tujuan yang telah ditetapkan.
4. Model Stake
Model countenance adalah model pertama
evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya ini
pada evaluasi formal. Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak
luar yang tidak terlibat dengan evaluan. Model countenance Stake terdiri atas
dua matriks. Matrik pertama dinamakan matriks Deskripsi dan yang kedua
dinamakan matriks Pertimbangan.
1) Matrik
Deskripsi
Kategori
pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu yang direncanakan (intent)
pengembang kurikulum dan program. Dalam konteks KTSP maka kurikulum tersebut
adalah kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sedangkan program
adalah silabus dan RPP yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah observasi,
yang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi dari apa
yang diinginkan pada kategori pertama. Pada kategori ini evaluan harus
melakukan observasi mengenai antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu
satuan pendidikan atau unit kajian yang terdiri atas beberapa satuan
pendidikan.
2) Matrik
Pertimbangan
Dalam
matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan focus antecendent,
transaksi, autocamo (hasil yang diperoleh). Standar adalah criteria yang harus
dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan. Berikutnya
adalah evaluator hendaknya melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan
dari kategori pertama dan matrik deskriptif.
Adapun
dua hal lain yang harus diperhatikan dalam menggunakan model countenance adalah
contingency dan congruence. Kedua konsep ini adalah konsep yang memperlihatkan
keterkaitan dan keterhubungan 12 kotak tersebut. Contingency terdiri atas
kontigency logis dan contingency empiric. Contingency logis adalah hasil
pertimbangan evaluator terhadap keterkaitan logis antara kotak antecedence
dengan traksaksi dan hasil. Kemudian evaluator juga harus memberikan
pertimbangan empiric berdasarkan data lapangan.
Evaluator
juga harus memberikan pertimbangan congr uence atau perbedaan yang terjadi
antara apa yang direncanakan dengan apa yang terjadi dilapangan. Adapun
kelebihan dari model ini adalah adanya analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba
dikaji kesesuainnya. Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang
direncanakan dengan yang terjadi sesuai apa tidak? Hasil belajar peserta didik
sesuai tidak dengan harapan.
5.
Model Parlett dan Hamilton
Tujuan dari model ini adalah untuk
menjelaskan tentang pemahaman audiens tentang suatu kurikulum atau program.
Mereka mengklaim bahwa illuminative evaluasi itu untuk kurang membatasi tentang
evaluasi tradisional. Ia fokus pada deskripsi dan interpretasi dari pada
pengukuran dan prediksi. Tujuannya adalah:
1) Untuk
menguji pengaruh ditempatkanya suatu kurikulum, pendapat inni meliputi tentang
manfaat dan tidaknya, dan bagaimana kinerja siswa lebih dipengaruhi
2) Untuk
melihat dan mendiskusikan keistimewaan dari sebuah kurikulum secara signifikan,
dan proses untuk mengimplementasikannya
3) Mengidentifikasi
seluruh bagian dari kurikulum yang diperlukan
Semua
teknik yang ada pada illuminative evaluasi adalah memilih evaluasi yang sesuai.
Banyak teknik yang berbeda yang dapat digunakan dan evaluator menerima sumua
sistem yang ada dari pada memanipulasinya.
6.
Model Kemmis
Model kemmis ini didasarkan pada apa
yang dilihat pada kurikulum yang tidak bisa untuk diukur cara dan tujuan yang
tepat, tapi memerlukan evaluasi yang luas yang mencakup interaksi yang banyak
dari masing-masiang variabel.
Tugas
evaluator bagi kemmis adalah “katakan jika menyukainya” atau “mengatakan”
program atau kurikulum pada audiens. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan cara
membawakan sebuah kurikulum untuk mengkomunikasikan keistimewaan kurikulum
kepada audiens yaitu: sifatnya, masalah-masalah yang ada, dan orang-orang yang
terlibat dalam pengimplementasinya. Seperti cara mengkomunikasikan sesuatu yang
kompleks dan bentuk pengalaman yang tercakup didalam kurikulum.
7.
Model
Walberg
Model Walberg ini untuk penelitian
tentang instruksi (1970, 1971), Anggapan utama Walberg adalah bahwa model
penelitian pada instruksi harus mencakup tiga kelas utama dari variabel dan
interaksi mereka: instruksi, bakat siswa dan lingkungan belajar. Dia menyajikan
model matematis dinyatakan beberapa menggambarkan hubungan ini. Menyatakan
model umum bahwa belajar (Li) adalah fungsi (b) dari bakat (As), lingkungan
belajar (Ej), dan instruksi (Ik), atau:
Lh = b1(Ai).b2(Ej).b3(Ik)
Tinjauan
Walberg tentang studi
penelitian mendorongnya untuk menyimpulkan instruksi yang membuat perbedaan
yang relatif kecil dalam belajar
bila dibandingkan dengan pengaruh kuat dari lingkungan
belajar dan bakat siswa. Pandangan demikian menunjukkan bahwa lingkungan belajar harus digunakan sebagai kriteria efektivitas kurikulum. Tugas
tersirat dari evaluator
adalah untuk menentukan apakah kurikulum
perubahan lingkungan.
Artikel
Walberg 1974 lebih
jauh menekankan proses dan konteks pembelajaran.
Dia berpendapat bahwa
pembelajaran harus diperiksa ketika
sedang berlangsung, bahwa proses dan konteks pembelajaran
harus dianalisis, dan bahwa standar evaluator harus
'menekankan' hasil prestasi-test dalam evaluasi pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar