WELCOME

WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC WELCOME TO Mr.PHYSIC

Senin, 12 November 2012

Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan

Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan


Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan. Antara definisi fisafat dengan ilmu pengetahuan lebih hampir mirip namun kalau kita menyimak bahwa di dalam definisi ilmu pengetahuan lebih menyoroti kenyataan tertentu yang menjadi kompetensi bidang ilmu pengetahuan masing-masing, sedangkan filsafat lebih merefleksikan kenyataan secara umum yang belum dibicarakan di dalam ilmu pengetahuan.[1][6] Walaupun demikian, ilmu pengetahuan tetap berasal dari filsafat sabagai induk dari semua ilmu pengetahuan yang berdasarkan kekaguman atau keheranan yang mendorong rasa ingin tahu untuk menyelidikinya, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan. Wibisono (1997 : x) pada Artikel kunci “Gagasan Strategik Tentang Kultur Keilmuan Pada Pendidikan Tinggi”, yang mengambil pendapat H.J. pos, beliau menandaskan bahwa abad ke-19 dan 20, dan bahkan sampai sekarang, diidentifikasi sebagai suatu abad yang ditandai oleh dominasinya peran ilmu pengetahuan dalam kehidupan umat manusia.
Dominasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia memang tidak dapat dipungkiri. Betapa tidak, dominasi ini paling kurang membawa pengaruh dan manfaat bagi manusia, atau justru berpengaruh negatif dan membawa malapetaka. Seperti yang diungkapkan Ridwan Ahmad Syukuri (1997: 18-19), ilmu yang berorientasi pada kepentingan pragmatis, orientasi duniawi, atau mengesampingkan yang transenden, akan membawa malapetaka bagi kemanusiaan pada umumnya. Ilmu dinilai bukan karena dirinya sendiri, tetapi nilai ilmu pengetahuan berada dalam kesanggupannya membuat kehidupan lebih bernilai dan memberikan kebahagiaan, demi kebutuhan untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan manusia, maka bentuk ilmu itu memberikan kemanfaatan.
Selanjutnya, dalam bukunya yang berjudul Efistimologi Dasar, J. Sudarminta mengatakan bahwa ciri-ciri hakiki manusia yaitu: kepastian mutlak tentang kebenaran segala pengetahuan kita memang tidak mungkin, sebab manusia adalah makhluk contingent dan fallible. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan manusia pantas dan perlu dipergunakan kebenarannya. Maka, skeptisisme mutlak pantas ditolak.
Subjek berperan aktif dalam kegiatan mengetahui dan tidak hanya bersifat pasif menerima serta melaporkan objek apa adanya. Tetapi ini tidak berarti bahwa pengetahuan manusia melulu bersifat subjektif. Maka, subjektivisme radikal juga pantas disangkal.
Pengetahuan manusia memang bersifat rasional dan kontekstual, tetapi itu tidak berarti bahwa objektivitas dan universalitas opengetahuan menjadi tidak mungkin. Menurtu Sudarminta (2002: 60) pelbagai bentuk relativisme ilmu pengetahuan, walaupun punya sumbangan yang berharga, merupakan suatu pandangan tentang pengetahuan yang tidak bisa diterima.



1 komentar: