Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang
tertentu dari kenyataan. Antara definisi fisafat dengan ilmu pengetahuan lebih
hampir mirip namun kalau kita menyimak bahwa di dalam definisi ilmu pengetahuan
lebih menyoroti kenyataan tertentu yang menjadi kompetensi bidang ilmu
pengetahuan masing-masing, sedangkan filsafat lebih merefleksikan kenyataan
secara umum yang belum dibicarakan di dalam ilmu pengetahuan.[1][6] Walaupun demikian, ilmu
pengetahuan tetap berasal dari filsafat sabagai induk dari semua ilmu
pengetahuan yang berdasarkan kekaguman atau keheranan yang mendorong rasa ingin
tahu untuk menyelidikinya, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan.
Wibisono (1997 : x) pada Artikel kunci “Gagasan Strategik Tentang Kultur
Keilmuan Pada Pendidikan Tinggi”, yang mengambil pendapat H.J. pos, beliau
menandaskan bahwa abad ke-19 dan 20, dan bahkan sampai sekarang, diidentifikasi
sebagai suatu abad yang ditandai oleh dominasinya peran ilmu pengetahuan dalam
kehidupan umat manusia.
Dominasi ilmu
pengetahuan dalam kehidupan manusia memang tidak dapat dipungkiri. Betapa
tidak, dominasi ini paling kurang membawa pengaruh dan manfaat bagi manusia,
atau justru berpengaruh negatif dan membawa malapetaka. Seperti yang
diungkapkan Ridwan Ahmad Syukuri (1997: 18-19), ilmu yang berorientasi pada
kepentingan pragmatis, orientasi duniawi, atau mengesampingkan yang transenden,
akan membawa malapetaka bagi kemanusiaan pada umumnya. Ilmu dinilai bukan
karena dirinya sendiri, tetapi nilai ilmu pengetahuan berada dalam
kesanggupannya membuat kehidupan lebih bernilai dan memberikan kebahagiaan,
demi kebutuhan untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan manusia, maka
bentuk ilmu itu memberikan kemanfaatan.
Selanjutnya, dalam
bukunya yang berjudul Efistimologi Dasar, J. Sudarminta mengatakan bahwa
ciri-ciri hakiki manusia yaitu: kepastian mutlak tentang kebenaran segala
pengetahuan kita memang tidak mungkin, sebab manusia adalah makhluk contingent
dan fallible. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan manusia pantas
dan perlu dipergunakan kebenarannya. Maka, skeptisisme mutlak pantas ditolak.
Subjek berperan aktif
dalam kegiatan mengetahui dan tidak hanya bersifat pasif menerima serta
melaporkan objek apa adanya. Tetapi ini tidak berarti bahwa pengetahuan manusia
melulu bersifat subjektif. Maka, subjektivisme radikal juga pantas disangkal.
Pengetahuan manusia
memang bersifat rasional dan kontekstual, tetapi itu tidak berarti bahwa
objektivitas dan universalitas opengetahuan menjadi tidak mungkin. Menurtu
Sudarminta (2002: 60) pelbagai bentuk relativisme ilmu pengetahuan, walaupun
punya sumbangan yang berharga, merupakan suatu pandangan tentang pengetahuan
yang tidak bisa diterima.
tulisannya bermanfaat...
BalasHapusterima kasih...